Arsip Instagram 18 Februari - 4 Maret 2018
Dalam rangka Hari Raya Imlek 2018, saya mengikuti walking tour yang diadakan Jakarta Good Guide. Kali ini, saya mengikuti tur Chinatown.
Chinatown di New York. sumber 6sqft.com
Pernahkah kalian bermimpi berlibur ke sebuah kota di dunia? Mungkin Singapura, New York, atau London? Mungkin jika kalian mengunjungi kota tersebut, kalian akan mengunjungi salah satu kawasan yang unik: Chinatown. Mungkin kalian sangat ingin mengunjunginya atau bahkan ingin liburan ke kota-kota Tiongkok. Tapi sebelum ke sana, kunjungi dulu Chinatown yang deket: Chinatown Jakarta. Lah emangnya Jakarta punya Chinatown? Punya dong, tepatnya di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Tinggal naik Transjakarta dari Stasiun Kota ke arah selatan.
Glodok saat ini
Sejak dahulu sudah banyak Bangsa Tionghoa yang bermukim di Jakarta. Sudah budaya Tionghoa jika berpindah ke negeri yang jauh, akan berkumpul dengan sesama Tionghoa dan membentuk komunitas di negeri tujuan. Oleh karena itu munculah istilah Chinatown, di mana orang-orang Tionghoa bermukim di berbagai kota-kota di dunia. Di Jakarta, tempat ini berada di Glodok. Orang-orang Belanda terbiasa mengatur kotanya dengan membagi wilayah untuk bermacam-macam penduduk. Penduduk Tionghoa mendapat tanah di daerah Glodok.
Dahulu daerah Jalan Gajah Mada masih merupakan daerah countryside dari Batavia. Di kanan kirinya dibangun rumah, mansion dan villa mewah di sepanjang jalan. Salah satu yang tersisa adalah Gedung Arsip Nasional. Bisa dibayangkan bagaimana cantiknya Jakarta waktu itu. Kembali ke Chinatown, ciri khas dari Chinatown di Jakarta yaitu tidak ditemukannya pintu gerbang. Padahal di kota-kota lain di dunia, dapat dijumpai pintu gerbang ke kawasan Chinatown. Selain itu apa aja sih yang bakal ditemuin di sini? Simak pada post-post selanjutnya!
Gedung Candra Naya
Gedung ini sebenarnya merupakan bekas rumah seorang Mayor Tionghoa bernama Khouw Kim An. Setelah Khouw Kim An ditahan hingga wafat pada masa penjajahan Jepang, rumah ini dialihfungsikan menjadi hal-hal lain seperti klinik, sekolah, tempat olahraga, dll. Dibentuk juga asosiasi Xin Ming yang merupakan perkumpulan sosial warga Tionghoa. Pada masa orde baru, nama Xin Ming diubah menjadi Candra Naya agar tidak berbau Tionghoa.Gedung Candra Naya ini terdiri dari tiga bangunan. Pada bangunan utama (tengah) terdapat ruang penjamuan untuk para tamu (gbr 3-4). Di bagian belakang terdapat kolam air mancur dan altar tempat sembahyang. Sayangnya sudah banyak ornamen dan pernak-pernik yang hilang dari rumah ini. Saat ini, di kedua gedung samping terdapat restoran dan tempat nongkrong yang nyaman, seperti Kopi Oey (gbr 5). Disediakan juga kamar mandi di gedung samping.
Walaupun terletak di pinggir Jalan Gajah Mada, gedung ini tidak dapat terlihat jelas dari jalan karena TEPAT di depannya terdapat gedung hotel yang tinggi. Ya, bahkan untuk mencapainya kita harus melewati lobby dari Novotel Hotel. Persis di belakangnya terdapat apartemen yang menjulang tinggi (gbr 8). Dan di atasnya, terdapat skywalk yang menghubungkan hotel dan apartemen tersebut (gbr 1)! Gedung Candra Naya ini benar-benar terjepit di antara gedung-gedung pencakar langit. Kalau bukan karena kelembutan hati pengembang dan kekerasan hati sang pemilik tanah, tentunya tempat ini tinggallah sejarah dan di atasnya sudah berdiri gedung berlantai 27. Sebab gedung-gedung bersejarah di Jakarta seperti ini sudah sangat sedikit jumlahnya. Pernah ada wacana untuk memindahkan Candra Naya ini ke TMII, namun banyak yang menolak dengan alasan nilai sejarah akan jauh berkurang dibanding di tempatnya sekarang.
📍Gedung Candra Naya, Jl. Gajah Mada no 188, Glodok
Pantjoran Tea House
Inilah sudut paling terkenal di Glodok: Pantjoran Tea House! Dulunya bangunan ini merupakan apotek bernama Chung Hwa. Sampai saat ini di sekitarnya masih banyak toko obat tradisional khas Tionghoa. Sekarang tempat ini diubah menjadi sebuah kedai teh. Di sini juga ada berbagai makanan khas Tionghoa seperti dimsum, dsb. Sayangnya saya belum sempat ke dalam dan menikmati suasana Tionghoa di dalamnya. Bagi yang jalan-jalan ke Glodok, mampirlah ke sini, karena Pantjoran Tea House menyediakan sample teh gratis di depan tokonya!📍Pantjoran Tea House, Glodok
Klenteng Jin De Yuan
Klenteng ini dibangun pada tahun 1650 merupakan salah satu klenteng tertua di Jakarta. Dahulu klenteng ini bernama klenteng Kwan Im Teng. Katanya istilah "klenteng", tempat ibadah umat Khonghucu dan penganut Taoisme berasal dari orang lokal yang salah sebut Kwan Im Teng menjadi "klenteng". Banyak orang menyangka munculnya tempat ibadah disebabkan adanya pusat perdagangan. Namun yang terjadi malah sebaliknya, pusat perniagaan muncul karena adanya tempat ibadah. Sama seperti klenteng ini. Adanya pasar di sekitarnya disebabkan adanya klenteng di sanaDi klenteng ini terdapat dua simbol binatang tertinggi dalam kepercayaan Tionghoa: Naga dan Phoenix. Naga bertugas mengendalikan air, sedangkan Phoenix bertugas mengendalikan api. Kedua hewan ini juga tidak lepas dari filosofi Yin dan Yang. Naga melambangkan Yang dan mewakili laki-laki. Phoenix melambangkan Yin dan mewakili perempuan. Mengapa budaya Cina identik dengan warna merah? Karena menurut orang Tionghoa merah melambangkan berani, kesejahteraan, dan kekayaan. Oleh karena itu saat Imlek, banyak hiasan berwarna merah, termasuk angpao untuk berbagi rezeki.
Saat Hari Imlek, klenteng ini ramai dikunjungi umat Khonghucu yang ingin beribadah. Sayangnya beberapa tahun lalu, klenteng ini mendapat musibah kebakaran. Sudah dilakukan berbagai macam renovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat kebakaran tersebut.
📍Klenteng Jin De Yuan, Jl. Kemenangan, Glodok
Glodok
Dari post-post saya sebelumnya, mungkin kalian bertanya-tanya. "Saya udah pernah ke Glodok. Kok gak ada rasa Chinatown-nya?" Glodok memang berbeda dari Chinatown yang lain. Jika hanya dilihat dari luar, tidak akan terasa sensasi Chinatown. Namun kalo kalian menelusuri lebih dalam, pasti kerasa deh ada yang beda dari Glodok.Seperti yang sudah ditulis, Glodok merupakan kawasan orang-orang Tionghoa tinggal sejak zaman Belanda. Salah satu buktinya saat Imlek tiba, seperti saat saya mengunjunginya, jalan-jalan di Glodok dihias dengan lampion merah khas Tionghoa. Jalan-jalan di Glodok juga dinamakan dalam Bahasa Tionghoa. "Tapi kok di Google Maps gak gitu. Adanya cuman Jalan Kemenangan, Kemurnian ....". Ya sejak masa Orde Baru, hal-hal yang berbau Tionghoa dilarang, termasuk nama jalan. Sehingga nama jalannya berubah menjadi berbau lokal. Seperti di satu jalan, terdapat gapura bertuliskan nama jalannya dalam Bahasa Tionghoa. Di samping gapura tersebut terdapat tempat beribadah bagi orang Tionghoa yang ingin pergi jauh.
Selain jalan, di Glodok juga terdapat bangunan-bangunan khas Tionghoa. Memang banyak di antaranya yang sudah lenyap, tapi beberapa masih bisa dinikmati. Salah satunya Gedung Candra Naya yang sudah dibahas dan Gereja Santa Maria de Fatima. Meskipun dari luar terlihat seperti bangunan Cina, bangunan ini sebenarnya adalah gereja. Banyak yang mengira bangunan ini dulunya sebuah Wihara, namun tidak demikian. Di Glodok juga banyak terdapat Klenteng. Sebagai tambahan Klenteng Jin De Yuan, ada juga Klenteng Toasebio tidak jauh dari sana. Klenteng ini juga dikenal dengan Vihara Dharma Jaya. Jalan di depannya sebenarnya bernama Jalan Toasebio, namun seperti yang disebutkan di atas, namanya diubah menjadi Jl. Kemenangan III. Di depannya terdapat penjual Soto Tangkar dan Nasi Ulam yang katanya enak.
Glodok juga menjadi tempat perayaan Cap Go Meh di Jakarta yang berlangsung hari ini (bahkan mungkin saat ini). Perayaan ini seperti sebuah karnaval, sehingga Jl. Hayam Wuruk ditutup untuk kendaraan. Mungkin ada dari kalian yang ke sana?
Comments
Post a Comment